”MATI ini, mati aku di sini,” ucap Afif Hilal Naufal dalam situasi kalut lantaran berada dalam kabut pekat gas air mata pada malam tragedi di tribun 10 Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang (1/10).
Dada Afif sesak, kakinya tak sanggup menyangga tubuh untuk berdiri. Dia tergeletak dengan posisi menyamping di tribun yang biasanya jadi tempat Aremania berjingrak-jingkrak mendukung klub kesayangannya, Arema FC. ”Rasanya seperti mau muntah, tapi nggak bisa muntah.”
Pasrah. Hanya itu di pikiran Afif. Tatkala matanya nyaris terpejam, tak jauh darinya di tengah asap tebal mengepul, tampak seorang perempuan pingsan. Tepat di sebelah perempuan itu terdapat lelaki yang gelisah dan tak berdaya mencoba membangunkannya. Afif menghampiri dengan sisa tenaganya. ”Mas, tolong mas nggih,” ujar lelaki tersebut kepada Afif.
Tenaganya yang terkuras habis serasa pulih. Bagaimana bisa? Afif tidak tahu. Apa pun itu, yang harus dia lakukan selanjutnya adalah bersama lelaki yang tidak dikenalnya itu membawa perempuan pingsan tersebut keluar dari jebakan gas air mata. Tubuh kurus Afif berupaya membantu mengangkat perempuan ini. Dia di bagian kaki dan lelaki itu di bagian badan. Bukan hal mudah dalam kondisi tubuh yang juga terpapar gas air mata, tapi pemuda berusia 22 tahun itu menolak pasrah.
Pintu 10 lah yang menjadi tujuan Afif dan lelaki itu untuk keluar sambil membopong perempuan tersebut. Kondisi pintu sebenarnya terbuka, tapi ribuan manusia menumpuk mengantre untuk keluar. ”Aku teriak, mas tolong mas, ada anak perempuan pingsan, tapi mereka juga ngomong, gak bisa mas ini juga antre. Akhirnya aku mikir cari jalan lain,” ungkap Afif mengingat kembali kejadian yang dia alami.
Opsi yang tersisa saat itu hanya pintu 9. Afif sebenarnya sadar bahwa kemungkinan situasinya tak jauh berbeda, tapi mereka tetap membopong perempuan itu ke sana. ”Aku masih ingat dengan jelas, saat itu ada seorang laki-laki berjaket merah yang mau membukakan jalan,” terang Afif. ”Nah, di belakangku juga ada polisi, Alhamdulillah masih ada polisi yang baik yang bantu menolong.”
Afif bahkan sempat terjatuh ketika menuruni curamnya tangga di pintu keluar Stadion Kanjuruhan. Untungnya, sejumlah Aremania yang berada di pintu 9 mau membukakan jalan bagi Afif dan lelaki, ketika mereka melihat ada nyawa yang harus segera diselamatkan. Ketika sampai di luar stadion, tenaga Aremania asal Mojokerto itu sudah habis. Dia tidak kuat lagi mengangkat perempuan itu dan menyerahkannya kepada polisi yang berjaga di luar untuk menggantikan posisinya membantu lelaki yang hingga akhir tak dia ketahui namanya.
Dia melangkah linglung menuju depan pintu 10 karena menyadari nasib teman-temannya masih tanda tanya. Entah berapa lama Afif terduduk di dekat pintu 10. Dia melihat para penonton yang mencoba keluar menyelamatkan diri. Sembari mengamati wajah yang penuh ketakutan itu satu persatu, mencari tahu apakah ada sosok yang dia kenali. Hingga akhirnya seseorang memanggil namanya.
Pada malam itu semua teman Afif selamat dari tragedi maut di Stadion Kanjuruhan. Pukul dua dini hari di tengah hawa dingin Kabupaten Malang, Afif mendekap erat semua temannya dengan penuh rasa syukur. Kekuatan sesaat untuk menolong orang lain dapat membawanya pulang ke rumah. Pukul enam pagi dia disambut haru tangis dari kedua orang tua.
.@AFP images from a night of horror in Malang, Indonesia, and one of the worst disasters in sporting history. pic.twitter.com/Tsnx6tFuMo
— Jack Moore (@JFXM) October 2, 2022
Apa yang dialami Afif, juga dirasakan Davit di tribun 12, salah satu tribun yang terkena dampak paling parah. Tembakan gas air mata meletus tepat di atas kepala Davit sebelum akhirnya dia memutuskan segera keluar. ”Saya sebetulnya menahan diri di tribun, akhirnya berusaha keluar bagaimana pun caranya, karena sudah gak kuat dan sesak nafas. Kalau gak keluar saya bisa pingsan,” ungkap Aremania asal Kabupaten Malang bagian selatan tersebut.
Kengerian lah yang Davit rasakan saat itu. Dia menyaksikan dari atas, ada ratusan orang saling injak di lorong pintu 12. Kanan dan kirinya banyak orang tergeletak, salah satunya seorang perempuan yang masih berusia muda. Tepat di sebelah perempuan itu terdapat laki-laki, mungkin kekasihnya, pikir Davit.
Sebenarnya dia ingin segera keluar. Segera bertemu dengan teman-temannya yang dia pikir berada di tempat aman dan telah melewati pintu 12. Namun, dia tidak tega. Davit pun memutuskan membantu membopong perempuan itu. Karena menyadari mustahil membopong korban keluar dari pintu 12, dia berinisiatif mengarah keluar melalui lapangan. ”Saat itu ada ambulans di pinggir lapangan,” ujar Davit.
Bersama beberapa penonton lainnya, Davit kemudian berusahan menjebol pintu samping menuju lapangan. ”Sialnya pintunya dikunci,” terang Davit. Dia coba menendang pintu tersebut, tapi tetap tertutup rapat, mungkin karena sesak, mungkin karena dia sudah tidak kuat lagi, sehingga pintu itu tidak mau terbuka. Untungnya, dia dibantu puluhan orang lainnya yang juga ingin mencari udara yang lebih segar dengan menjebol pintu itu.
Malangnya Davit tidak melihat lagi ambulans di pinggir lapangan, bisa jadi telah pergi tanpa dia sadari. Dengan sisa kekuatan yang ada dia bawa perempuan ini ke tribun VIP untuk mendapatkan perawatan. Tempat yang Davit pikir sebagai tribun paling aman itu ternyata juga sudah banyak korban berjatuhan. Sakit dada Davit saat itu akibat gas air mata. Setelah menempatkan perempuan itu ke tempat yang aman, Davit berjalan ke luar stadion menuju tempat parkir.
Kegelisahan memuncak di pikiran Davit setelah tidak dapat menemukan teman-temannya. Davit kembali teringat hal menakutkan yang dia lihat di lorong pintu 12. Bergegas dia segera kembali ke tempat yang penuh teriakan itu. Air mata mengalir di kedua mata Davit setelah melihat manusia saling terjepit dan tidak sadarkan diri di pintu 12. ”Mas tolong tarik aku, aku masih hidup mas,” ujar Davit mengulangi rintihan seorang anak kecil kurang lebih berusia 10 tahun yang terimpit di pintu 12. ”Anak kecil itu memegang kaki saya minta tolong ditarik, dia bilang, Mas kakiku sudah gak kerasa apa-apa. Pas evakuasi hampir selesai si anak tidak sadarkan diri. Saya kurang tahu bagaimana keadaannya sekarang, semoga selamat.”
Setelah itu, satu demi satu tubuh manusia yang sudah tak sadarkan diri dan ada pula yang tak lagi bernyawa Davit angkat. Panik hadir ketika Davit mencoba melihat wajah para korban, mencari tahu apakah salah seorang di antara mereka adalah seseorang yang pergi bersamanya di malam itu. Kelelahan fisik tidak lagi Davit rasakan. Dia hanya ingin menolong dan mengakhiri teriakan puluhan orang yang terjebak di sana. Davit tak bisa mengingat berapa jumlah korban yang dia evakuasi di pintu 12, dari awal yang penuh dengan teriakan hingga tersisa tangis-tangis sendu dan keringat yang bercucuran.

Kelima teman yang berangkat bersamanya selamat dari tragedi malam itu. Esok harinya, pukul setengah dua dini hari Davit baru bisa pulang ke rumah. Selama perjalanan dia hanya diam memahami apa yang telah terjadi.
Sementara itu, Rifki Alif, ketua Aremania koordinator wilayah (korwil) Kampus Universitas Islam Raden Rahmat (UNIRA) Kabupaten Malang berada di tribun 13. Bersama sepuluh orang lainnya dia berangkat ke Stadion Kanjuruhan hari itu. Sepuluh nyawa yang coba dia jaga dan selamatkan.
"(Anak) Unira jangan ada yang turun," seru pemuda 23 tahun ini kepada para anggota Korwilnya. "Sudah, kumpul jadi satu, ikut instruksinya Alif," sahut Tajul, salah satu pentolan Aremania Korwil Kampus Unira, sebuah kampus yang jaraknya tidak jauh dari Stadion Kanjuruhan. Alif adalah sosok yang paham punya pengalaman menghadapi gas air mata. Dia pernah merasakannya pada 2018 di stadion yang sama. Skenarionya hampir sama, Aremania yang kecewa akibat kekalahan melawan Persib saat itu turun ke lapangan dan dibalas dengan tindakan represif aparat keamanan.
"Saya meminta teman-teman yang cowok untuk lepas kaosnya, saat itu ada tiga orang yang lepas kaosnya, karena yang lain pakai jaket. Kami mendatangi penjual es di tribun untuk minta air es. Kami basahi kaos dan syal, lalu cuci muka untuk antisipasi jika nanti gas air mata ditembakkan ke tribun 13," ujar Alif sembari menghisap satu batang rokok miliknya ketika menceritakan kesaksiannya saat ditemui di salah satu kedai kopi di Kota Malang.
Alif bersama teman-temannya merapatkan barisan di pagar pembatas tribun 13. Tak berselang lama, peluru gas air mata dari polisi mendarat, jaraknya persis hanya beberapa dudukan kursi di belakang Alif dan koleganya. Keadaan di sekitar mereka menjadi tak menentu, penonton histeris berlarian kian kemari berusaha keluar dari stadion. Alif bersikeras agar gerombolannya tetap dalam barisan. Namun, ada tiga kawannya terpecah dari barisan karena panik. "Pas gas air mata di bawah (lapangan), ada salah satu temenku yang bilang ayo mas keluar saja. Tapi saya gak tahu siapa yang bilang, terus suara panik orang-orang. Saya bilang, jangan keluar dulu, jangan panik. Pikiranku saat itu, kalau kita keluar dari pintu keluar pasti desak-desakan, kalau mau turun pasti kena pukul aparat," sambung Alif.
Tersisa delapan orang dalam barisan mereka, ada tujuh orang lelaki dan satu di antaranya adalah perempuan yang berstatus mahasiswa baru. Perempuan itu mengajak adik laki-lakinya yang masih duduk di bangku kelas 6 SD ikut menonton. Langit di atas Stadion Kanjuruhan berubah remang bercampur gumpalan asap gas air mata.
Teriakan ketakutan dan jeritan meminta iba menyeruak di seantero tribun. Jarak pandang menjadi buram karena mata terasa pedih yang tak terkira, belum lagi kesulitan bernapas karena kekurangan oksigen. "Mbak perih mbak," rengek bocah SD kelas enam tersebut disertai tangisan. Alif lalu merangkul pundak anggota perempuannya itu dan meminta si bocah SD memegang erat tangan kakaknya.
Selanjutnya, Alif memimpin rombongan dengan berlari pelan menuju ke tribun 14. "Saya sebagai ketua (Aremania korwil Kampus Unira), bagaimana caranya supaya anggotanya tetap aman. Sebab, secara gak langsung saya juga punya tanggung jawab di situ," ucap Alif. Mereka bertahan di tribun 14, tidak ke arah pintu keluar. Di situ mereka mendapat sejumlah bongkahan es batu dari salah seorang pedagang asongan. Mereka basahi wajah masing-masing supaya mengurangi rasa perih di mata. Ketujuh mahasiswa dan satu bocah SD itu bergerak ke sana kemari mencari tempat aman. Hingga akhirnya, mereka duduk dalam satu barisan, diam di tempat, memperhatikan ke kanan dan kiri dalam keterbatasan indera penglihatan mereka, penuh kewaspadaan.
Beberapa waktu kemudian, gas air mata mereda, lampu penerangan stadion terlihat redup, suasana menjadi agak gelap, pintu-pintu keluar stadion pun terlihat sepi. Alif melihat beberapa relawan yang masuk ke dalam tribun untuk menolong orang-orang yang telah roboh seperti pohon pisang yang ditebang. Bergeletakan di mana-mana. Ketika suasana mulai kondusif, Tajul mendatangi mereka di tribun 14.
Tajul sebelumnya sempat pergi membantu membuka pintu stadion dan menolong suporter yang kesulitan bernapas. Berikutnya, kedelapan orang itu pun berjalan beriringan keluar melewati pintu 14. Malam itu, jarum jam menunjukkan tepat tengah malam. Ketika langkah kaki pertama Alif menginjak aspal di luar stadion, dia melihat beberapa penonton menggotong sejumlah korban. "Mereka membawa korban sambil berucap Laa Ilaaha Illallah. Saya waktu itu gak tahu kalau ada yang meninggal. Yang saya tahu banyak yang bergeletakkan di tribun dan luar stadion. Waktu mereka lewat, saya hanya terdiam dan bilang, loh cok, sumpah ada yang meninggal," ujar Alif dengan mata yang berkaca-kaca.
Rombongan ini lalu menuju parkiran sepeda motor di kawasan Stadion Kanjuruhan. Mata Alif tak lepas dari pemandangan yang menyayat hati, korban-korban bergelimpangan di halaman luar stadion. "Ada juga Aremania yang membawa korban sambil nangis, mereka bilang, mas ini meninggal, mas ini meninggal, dan lain-lain," lanjut Alif mengenang malam jahanam tersebut.
Tibalah mereka di parkiran motor yang masih berada di kawasan Stadion Kanjuruhan. Hanya, tempat parkir satu anggota perempuan dan adiknya itu berada di dekat RSUD Kanjuruhan, berbeda dengan anggota yang lain. Akhirnya, Alif sendirian yang mengantar mereka berdua. Anggota yang lain sudah bisa pergi terlebih dahulu dalam keadaan selamat.
"Saya yang mengantar mereka berdua ke parkiran, karena saya ketuanya anak-anak di komunitas (Aremania korwil Kampus Unira). Daripada saya mikir diri saya sendiri, saya lebih kasihan ke mereka (anggota perempuan dan adiknya). Posisinya saya punya tanggung jawab menjaga mereka sampai selamat," tambah Alif. Perempuan itu mengiringi jalan menuju tempat parkir, si adik memegang tangan kakaknya. Alif mengikuti dan mengawal dari belakang. Dalam perjalanan menuju jalan raya, ternyata kondisinya belum sepenuhnya aman. Sehingga Alif pun mengajak mereka berdua melewati jalan pintas bersama beberapa Aremania lainnya melintasi taman di area dekat Stadion Kanjuruhan. Jalan tikus yang mereka ambil ternyata tidak bisa membuat mereka melenggang mulus, karena malang tak dapat ditolak, aparat keamanan kembali menembaki mereka dengan gas air mata. Rasa perih di mata mereka bertiga yang semula sudah mulai berkurang, kini muncul lagi akibat terpapar asap gas air mata untuk kali kesekian. "Gak tahu kenapa gas air ditembaki lagi, kami merasakan perih lagi, perih banget. Cewek dan adiknya juga ngerasain itu. Adiknya bilang mbak perih mbak. Aku bilang yang sabar dek, ini kita cari jalan aman biar bisa keluar," kata Alif.
Alif harus menuntaskan perjalanan menuju tempat parkir, akan tetapi penglihatannya samar-samar dan menahan rasa sakit di matanya. Dia tetap kukuh supaya anggota perempuan bersama adiknya itu bisa selamat. Mereka terus bergerak. "Cewek itu masih bawa syalku yang masih basah, kubilang mukamu tutup pakai syal itu. Tangannya si cewek kugandeng ikut arah tanganku, adiknya kusuruh ikuti mbaknya, si adik itu juga menutup mukanya dengan syal yang basah," jelas Alif dengan mempraktikkan cara dia berjalan dengan penglihatan yang tersisa 25 persen karena rasa perih di mata.
Derap langkah mereka tak sendirian, sebab di belakang tak jauh dari taman, sekelompok tentara sedang berjaga-jaga dengan membawa tameng dan pentungan menuju ke arah mereka. Suara sepatu lars milik tentara yang sedang berjalan membuat suasana hati mereka bertiga semakin tegang, intensitas debaran jantung ketiganya semakin cepat. "Saya di situ pasrah, karena kondisi di situ kan ramai, ada gas air mata, bikin perih. Sudah, terserah aku kalian (aparat) pentungi, yang penting si cewek dan adiknya gak apa-apa. Tapi Alhamdulillah gak. Di situ kami bisa keluar ke jalan raya," terang pria yang mengidolakan Arema sejak tahun 2007 itu.
Mereka bertiga merasa cukup lega karena tidak bertemu dengan tentara yang sedang siaga di area sekitar Stadion Kanjuruhan itu. Ketiganya bisa lolos dari lubang jarum dengan selamat. Tibalah mereka di sebelah barat Stadion Kanjuruhan, ada Warung Bakso Madura. Di situ mereka bertemu dengan beberapa Aremania lain yang mempersilakan untuk cuci muka agar meredakan sensasi pedas level sepuluh di mata.

Selanjutnya, mereka bergegas menuju ke parkiran, karena jaraknya sudah semakin dekat. "Sampai di parkiran, aku langsung antar mereka berdua. Karena kalau gak langsung pulang kan bahaya juga," ucap Alif. Seusai mengantar kakak beradik tersebut ke kediamaan mereka. Alif kemudian menjenguk satu temannya bagian dari rombongan Aremania korwil Kampus Unira yang terpisah di stadion. Temannya cedera saat tragedi Kanjuruhan dan menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di wilayah Kabupaten Malang.
Dari rumah sakit, Alif lalu bergeser untuk pulang ke rumah. Dia yakin benar keluarganya di rumah sudah panik mengenai kabar dan keadaan dirinya. Sebab, selama menonton laga malam itu dia tidak membawa ponsel. Alif meninggalkan ponsel di kamarnya. Alif menunggangi sepeda motor miliknya, selama perjalanan pulang, dalam benaknya muncul bayangan-bayangan Tragedi Kanjuruhan yang dia saksikan dengan mata kepala sendiri. Terpikir olehnya untuk gantung syal. "Sudah aku stop untuk menonton sepak bola. Dalam tanda kutip, untuk waktu yang tidak ditentukan," ucap Alif.
Dia tiba di rumah pukul setengah tiga dini hari. Melepas sepatu sneakers-nya dengan dominasi warna kuning dan tiga strip garis biru, dia letakkan di rak sepatu. Lalu membuka pintu dan masuk ke rumah. Ibundanya menyambut dengan mimik wajah khawatir, terdapat sisa-sisa air mata yang mengering di pipi. Alif kemudian menjabat dan mencium tangan sang ibunda. "Kalau kamu nonton bola lagi, ibu tidak ridho!" tegas sang ibunda.
Tribun selatan tempat Davit, Afif, dan Alif menjadi tempat yang terdampak paling parah. Namun, di tengah kekacauan yang ada, sikap kepahlawanan saling menolong sesama itu datang dari mana saja. Baik di dalam maupun di luar stadion. Bukan hanya di dalam, di luar Stadion Kanjuruhan, situasi juga membara.
Setidaknya itulah yang dialami Indra. Aremania asal Dinoyo itu melihat kendaraan taktis (rantis) yang dinaiki skuad Persebaya untuk pulang ke Surabaya dilempari massa. Jalan keluar stadion sudah ditutup besi-besi pembatas. Kobaran api juga semakin membesar dari spanduk-spanduk yang dibakar. ”Mas, mas, ada korban mas,” teriakan terdengar dari arah pintu VIP yang semakin memicu amarah mereka yang berada di luar.
Indra bersama beberapa orang lainnya mencoba menenangkan massa. ”Jangan-jangan, sudah gak usah,” teriak Indra yang sayangnya tak digubris karena massa sudah terlanjur marah dengan tindakan represif pasukan keamanan. Perhatian Indra akhirnya kembali tertuju pada suara dari pintu VIP. Dia menuju ke arah sana dan kepanikan terlihat jelas. Sebagian orang ditarik menuju ke tempat yang aman, terlihat juga korban yang mengalami kejang akibat kesusahan bernapas, beberapa lainnya sudah tergeletak terbujur kaku.
Indra berusaha ikut membantu, dia membawa keluar orang-orang yang berada di dalam stadion. Saat itu sebagian besar yang diselamatkan terlebih dahulu oleh penonton lain yang dalam kondisi tubuh lebih baik adalah anak-anak kecil yang terpisah dari keluarganya. Bagi Indra, momen menolong anak kecil inilah yang mengingatkannya pada anaknya di rumah. Setelah merasa aman, Indra kemudian menitipkan anak kecil tersebut kepada seorang petugas berompi dan memutuskan pulang karena takut akan kondisi yang semakin parah.
Benar dugaan Indra, dalam usahanya untuk keluar halaman Stadion Kanjuruhan, dia harus melewati tumpahan manusia yang meluapkan amarahnya. Jalanan masih diblokade, tidak ada kendaraan yang bisa keluar. Sebenarnya bagi Indra tidak masalah, karena dia memarkirkan kendaraannya di luar area Stadion Kanjuruhan. Namun, ketika tahu bahwa banyak ambulans yang ikut mengantre ingin keluar, di saat itulah dia sadar harus segera bertindak.
”Matamu apa tidak lihat? Kalau rantis tidak bisa lewat, semua tidak bisa lewat” teriak Indra saat itu mengingat kembali massa karena banyaknya korban yang dia tolong di VIP yang masih mengalami sesak napas dan harus diangkut ambulans. Hal itulah yang membuatnya memberanikan diri menyingkirkan pagar pembatas yang malang melintang di tengah jalan Kanjuruhan. Tidak memikirkan, bahkan tidak merasakan, rasa panas dari api yang berkobar. ”Tidak bisa aku, ambulans itu harus jalan, karena kan beberapa masih hidup ya, aku berharap masih bisa diselamatkan,” pikir Indra saat itu.
Indra bukanlah seseorang yang berpostur tubuh besar, namun dia memiliki keberanian yang besar. Bersama beberapa Aremania yang mungkin merupakan teman-teman dari korban di ambulans dan orang-orang dari panitia pelaksana (panpel) dia membuka jalan itu.
Ketika lemparan mereda, aparat keamanan pun ikut membantu mematikan api dan memindahkan blokade dari besi pembatas tersebut. Kendaraan mulai berjalan diikuti sayup-sayup suara sirine dari ambulans. Berharap dapat menyelamatkan nyawa manusia yang mereka bawa. (*)