Wawancara Eksklusif dengan Susy Susanti: Bakat Gregoria Jauh Lebih Bagus daripada Saya!

SUSY Susanti bukan cuma atlet putri terhebat dan paling ikonik dalam sejarah olahraga Indonesia. Susy juga merupakan bintang tunggal putri yang sangat dominan pada eranya, terutama pada paruh pertama 1990-an.

Prestasi Susy sangat fenomenal. Saat itu, Susy meraih juara grand prix finals lima kali secara beruntun, mulai 1990 sampai 1994, dan berlanjut pada 1996. Susy juga mampu merebut trofi Piala Dunia lima kali. Di All England, Susy menjadi juara empat kali dalam lima tahun.

Susy mencatat sejarah hebat yang belum dipecahkan sampai sekarang. Dia adalah tunggal putri pertama dan satu-satunya di dunia yang menjadi juara Olimpiade, juara dunia, dan juara All England secara beruntun pada periode yang sama.

Dalam turnamen beregu, Susy memimpin Indonesia menjadi juara Piala Uber secara back-to-back pada 1994 dan 1996. Pada usia 18 tahun, Susy menjadi tunggal putri pertama Indonesia yang berhasil merebut Piala Sudirman. Dua trofi itu, belum mampu direbut lagi oleh Indonesia sampai sekarang.

Susy mengaku, secara bakat, banyak pemain lain yang lebih bagus daripada dia. Namun, dia melakukan hal-hal luar biasa untuk menutupi kekurangan pada bakatnya, lalu menjadi salah seorang tunggal putri terbesar dalam sejarah bulu tangkis dunia.

Berikut wawancara eksklusif Ainur Rohman dengan Susy Susanti.

Susy Susanti 1
Susy Susanti saat menjadi Kabidbinpres PP PBSI. (Humas PBSI)

Menurut Ci Susy, dari semua atlet putri Indonesia sekarang, yang punya peluang menembus, katakanlah, top 10 dunia itu siapa?

Kalau sekarang ini yang terdekat itu kan Jorji (Gregoria Mariska Tunjung, Red) ya. Dia ada di nomor 21 dunia. Tentunya saya sih selalu berharap dia bisa menembus dalam jajaran elite dunia, masuk 10 besar dunia ya.

Bagaimana ya, tinggal kerja kerasnya Jorji. Konsistensinya untuk meningkatkan performa dia. Untuk yang lain sebetulnya ada Putri KW, ada Bilqis (Prasista, Red). Lalu terakhir ada Mutiara Ayu Puspitasari yang baru juara (International Series). Dia kan sebetulnya baru junior.

Ini sebetulnya membawa angin segar buat Indonesia. Bahwa putri-putri Indonesia sudah mulai menunjukan performanya. Meskipun memang masih belum konsisten.  Menang di satu turnamen, terus kalah lagi.

Tapi paling tidak, hasil ini memberikan semangat kepada putri-putri kita untuk bekerja keras lagi. Lalu juga berlatih dengan lebih giat lagi. Karena sebetulnya, secara teknik, kita mampu loh.

Kemampuan itu dinilai dari mana?

Ya contohnya seperti Bilqis bisa ngalahin Akane (Yamaguchi). Kalau dia nggak punya kemampuan, ya nggak mungkin. Akane pemain ranking satu dunia. Sebetulnya bisa. Tapi kadang-kadang bisa main enak, kadang nggak. Nah, untuk mempertahankan enaknya ini, performa yang topnya itu, mereka tuh masih belum konsisten.

Dan juga, mereka tidak boleh lengah dan tidak boleh puas dengan pencapaian itu. Saat ini, justru mereka harus kerja ekstra lebih keras lagi untuk mematangkan performa secara teknik. Fisik ditambah. Lalu mungkin melakukan analisis strategi di lapangan. Lalu mencari cara untuk menerapkan kecerdasan strategi di lapangan. Dan yang pasti juga, mental harus diperkuat.

Ketika melawan unggulan, jangan ada pikiran ‘Aduh takut kalah’. Atau segala macamnya. Itu harus dibuang. Mereka juga harus berlatih mempersiapkan diri menuju pertandingan-pertandingan yang akan dihadapi.

Jadi banyak PR sebetulnya. Meskipun, secara prestasi sudah mulai pelan-pelan bangkit lah ya. Ada beberapa, bukan hanya satu, tapi ada beberapa pemain yang sudah menunjukan. Seperti Komang (Ayu Cahya Dewi) yang dari PB Djarum. Dia juga mulai bagus. Melawan pemain-pemain yang tidak ternama, mereka sudah nggak kalah.

Mereka juga sudah tahu level mereka ada di mana. Sudah mulai nggak boleh kalah melawan nonunggulan. Kalau mungkin melawan unggulan bisa kalah, tetapi kalau bukan unggulan, ya tetap bisa memenangkan beberapa pertandingan.

Nah kalo tanya ke banyak orang, untuk mencapai level seperti Susy Susanti itu kan susah setengah mati. Pertama, skillnya harus luar biasa. Lalu harus punya komitmen, harus kerja keras, disiplin, dan punya mental tangguh. Untuk menjadi pemain fullpack seperti itu, sesulit apa sih?

Itulah yang memang sedang kita cari. Ada banyak yang punya bakat jauh lebih bagus dari saya. Kemampuannya lebih bagus daripada saya. Misalnya Jorji. Itu bakatnya luar biasa. Pukulan dia itu lebih bagus dari saya!

Loh jangan salah, pukulannya dia tuh bagus. Tetapi, kemauan dia, harus ditingkatkan. Daya juang dia, harus ditingkatkan. Fisik dia, harus ditingkatkan.

Jadi, memang packaging ini tuh harus sama dan bisa semua. Contohnya kayak ujian lah. Minimal nilai 7 baru lulus. Soal bakat, nilainya 7 bahkan 8. Malahan melebihi saya. Tapi kemauannya, mungkin masih merah. Semangat juangnya, masih merah. Kalau teknik mungkin sudah 7. Fisik, masih merah.

Nah ini yang harus dibenahin. Kalau ujian kan seperti itu. Akhirnya ya belum naik kelas. Karena nilai merahnya masih banyak.

Soal pujian kepada bakat besar Gregoria. Itu memang beneran seperti itu atau hanya semacam kebaikan dari seorang Susy Susanti untuk membesarkan hati juniornya?

Loh iya, itu beneran! Coba deh lihat. Saya waktu main, bisanya cuma reli-reli doang. Kalau Jorji, reli dia bisa. Serangan, dia juga ada. Pukulan yang aneh-aneh juga bagus.

Tapi dia tidak bisa memanfaaatkan kelebihannya. Dia tidak bisa mematangkan kelebihannya. Dia tidak bisa memanfaatkan apa yang dia punya untuk mendukungnya menjadi seorang juara.

Coba lihat saat melawan Akane, Ratchanok (Intanon, Red), atau Tai Tzu-ying. Jorji tu sering hampir menang, tetapi akhirnya kalah. Ya kan? Sudah set pertama menang, lalu set kedua sudah 20, tapi akhirnya kalah. Lalu terus rubber set dan kalah. Dan itu berkali-kali.

Nah, kan bisa lihat sebetulnya secara kualitas teknik, bakat, dia bagus. Saya ngomong gini bukan nyenengin Jorji. Tetapi itu kenyataan. Jadi memang ada faktor lain yang harus dibenahin. Dan dia harus kerja keras untuk menutupi semua kelemahannya itu.

Gregoria Mariska Tunjung -3
Gregoria Mariska Tunjung saat berlaga di Piala Uber 2020. (Humas PP PBSI)

Soal pembenahan kualitas, mana yang lebih dominan, motivasi internal pemain itu sendiri atau dorongan pelatih?

Semua itu akhirnya berbalik pada diri sendiri. Program latihan menentukan. Sebab, setiap pemain itu berbeda. Ada yang memang harus dilatih A, ada yang memang harus dilatih B. Jadi nggak bisa disamaratakan.

Mungkin kalo latihan-latihan inti bisa sama. Tetapi ada tambahan-tambahan tertentu yang berbeda. Contohnya mungkin untuk saya dan Mia (Audina), mungkin beda. Jorji dengan Putri KW mungkin beda. Tambahannya ya, untuk membikin dia matang gitu. Itu yang pelatih harus lebih jeli.

Selain itu komunikasi. Yakni bagaimana untuk memberikan arahan. Lalu sama-sama menganalisis strategi. Lalu membuat program yang memang cocok. Kan itu semua juga harus ada pembenahan.

Jadi tidak saling menyalahkan. Tapi pemain dan pelatih ini bisa saling diskusi untuk bisa mendapatkan satu program yang pas.

Lalu juga si atletnya harus mau untuk mengerjakan itu semua. Pelatih juga harus tahu mana titik lemah pemainnya, mana kelebihan pemainnya. Lalu target juga penting. Dalam satu tahun, targetnya itu apa saja. Lalu tahun kedua, targetnya apa saja. Jadi harus benar-benar ter-planning.

Sekarang soal kecerdasan permainan. Kalau menonton film Susy Susanti, kita mendapatkan gambaran bahwa Susy muda itu benar-benar pintar dalam menganalisis permainan. Dia mencatat detail kelebihan dan kelemahan lawan. Kalau sekarang, masih ada nggak sih cara menganalisis seperti itu?

Mungkin menganalisis bisa. Tetapi sekarang karena ada Youtube, mereka lebih senang nonton Youtube. Ya, jadinya nggak menganalisa sendiri gitu, he..he..he…

 

 

Berarti sekarang, untuk menganalisis lawan menjadi lebih mudah?

Kalau yang praktis memang seperti itu. Tetapi kalau kita mencatat, lalu kita  visualisasikan sendiri, itu seperti kita menghadapi ulangan dan materinya sudah kita ingat di luar kepala.

Tetapi kalau kita hanya melihat sebentar, terus kita nggak punya visualisasi, itu ingatannya hanya sebentar. Setelah itu lupa lagi.

Jadi, otak dan kecerdasan dalam bermain itu bisa dilatih?

Pasti bisa lah!

Atau, nggak semua pemain itu lahir lalu diberkati kecerdasan seperti seorang Susy Susanti?

Aduh, semua manusia itu sama! Yang penting bagaimana manusia itu mau belajar dan mau berusaha untuk menjadi lebih baik. Selain itu, bagaimana mereka mau menerima masukan orang lain.

Kesuksesan itu kan tidak datang dengan sesaat. Butuh proses, butuh pengorbanan, butuh ngelewatin tantangan. Untuk ngelewatin tantangan itu butuh kerja keras. Nah, bagaimana bisa dia ngelewatin tantangan kalau baru kepentok sedikit saja, dia sudah down?

Tantangan-tantangan seperti itu, memang harus dilaluin. Nah, manusia yang luar biasa itu adalah atlet yang gigih untuk bisa menjadi juara dunia. Mengapa luar biasa? Ya karena otomatis latihannya pun luar biasa. Tanpa latihan luar biasa, nggak mungkin menjadi juara. Sebab juara cuma satu.

Hal itulah yang memang harus disadari oleh semua atlet. Kalau kita mau jadi juara, kita nggak bisa santai-santai.

Contohnya, program latihan yang diberikan pelatih itu sama antara pemain satu dan pemain yang lainnya. Tetapi untuk menjadi juara, dia harus lebih lagi. Harus menambah lagi. Ya tambahan kiri, tambahan kanan. Nggak usah disuruh-suruh pelatih.

Dan dia harus tahu, ‘Saya ini kurangnya apa ya?’ Setiap selesai pertandingan, dia bisa melihat video pertandingan. Dari sana dia harus tahu kelemahan dan kelebihannya. Dia harus tahu, mengapa menang dan mengapa kalah.

Nah, kalau mencatat semua, kita akan tahu, ‘Oh kita kalah karena ini, oh kita menang karena ini’. Otomatis, next di setiap pertandingan, ada perasaan ‘Saya nggak boleh gini, saya nggak boleh gitu.’

Dalam latihan, pemain harus membenahi kesalahan-kesalahannya itu. Sehingga dalam pertandingan berikutnya, dia tidak melakukan kesalahan yang sama. Bahkan, dia bisa memperkuat diri sendiri untuk lebih baik lagi. Baik itu secara performa, maupun secara teknik.

Ngomong-ngomong soal proses. Mengapa seorang Susy Susanti prosesnya cepat? Setelah juara dunia junior, lalu setahun kemudian sudah bisa menembus final All England dan jadi juara Indonesia Open?

Menurut saya, prosesnya tidak cepat. Saya juga butuh waktu kok. Saya kan nggak langsung jadi juara. Mungkin di junior, saya langsung juara. Tetapi di senior, saya awalnya juga kalah. Tetapi saya terus kerja keras lagi untuk ningkatin performa saya.

Ya kuncinya itu, kemauan yang keras dan gigih. Dan pastinya, jangan pernah bosen. Bosen ini bahaya sekali. Sebenarnya musuh terbesar kita adalah diri sendiri.

Pada saat kita gagal, kita akan merasa down, merasa ini, merasa itu. Tetapi bagaimana kita harus bangkit kan? Kita harus bisa membuktikan bahwa kita bisa. Kalau ada pembuktian, berarti istilahnya kita bisa ngelewatin satu tantangan.

Jadi, kalau dibilang, proses tiap manusia itu beda-beda ya. Tiap individu itu beda-beda. Ada yang prosesnya cepet, mungkin kalau saya memang cepet. Tetapi ada yang prosesnya cukup panjang. Contohnya mungkin seperti Joko Supriyanto dan Fung Permadi. Itu prosesnya agak lama. Mungkin agak di akhir kariernya, prestasinya baru ada.

Mungkin dari kepercayaan dirinya kurang. Lalu dari paket-paket yang kita bicarakan tadi, ada beberapa elemen yang kurang. Jadi, masing-masing orang itu berbeda-beda prosesnya. Hendrawan juga prosesnya lambat. 

Tetapi kalau sekarang, sudah didegradasi duluan jika si pemain prosesnya lambat…

Ha..ha..ha…soal degradasi itu betul. Tapi kan si pemain masih masuk ranking. Dia juga sudah mencapai target. Kayak Hendrawan, kayak Fung dulu. Mereka masuk dalam ranking yang baik, tetapi nggak bisa cepat tembus menjadi juara. Tapi mereka rutin masuk ke semifinal, misalnya. Mereka memang menjalani proses yang cukup panjang hingga mengalami kematangan untuk menjadi seorang juara.

Susy Susanti 1 BWF
Susy Susanti saat berlaga di Piala Uber 1996. (BWF)

Banyak mantan pemain yang berkomentar bahwa regenerasi tunggal putri Indonesia itu mandek salah satunya karena Susy Susanti terlalu cepat pensiun di usia muda. Komentarnya bagaimana Ci?

Ha..ha..ha…kalau dibilang muda, ya nggak ya. Waktu itu kan saya sudah 27 tahun. Jadi begini, zaman dulu ya jangan dibandingin dengan sekarang. Sekarang kan sistemnya reli poin. Kalau saya masih aktif dan sistemnya reli poin, mungkin saya masih mampu main sampai usia 30 tahun.

Kalau dulu kan ada pindah bola. Pindah bola itu sangat menguras fisik. Jadi bukan cuma soal teknis saja. Pada usia-usia itu, saya merasa kecepatan saya sudah banyak menurun.

Dan kalau dibilang regenerasi putus banget sih sebetulnya enggak. Waktu itu ada Mia, ada Yuni Kartika, lalu ada Meiluawati, lalu Ellen Angelina. Mereka itu juara Indonesia Open semua loh. Bintang lima semua loh mereka. Ada Lidya (Djaelawijaya) juga.

Tetapi, saat itu, karena Mia menonjol sendiri, otomatis banyak yang dibuang. Karena mungkin dulu kan dana PBSI terbatas. Jadi, otomatis mereka mau pemain yang jumlahnya seminimal mungkin tapi ingin mencapai prestasi yang setinggi mungkin.

Setelah para pemain itu dibuang, tahunya Mia dibawa ke Belanda sama suaminya. Jadi, setelah itu ada kekosongan di tunggal putri. Dengan kekosongan sepeninggal Mia, generasi di bawahnya ini yang belum siap untuk untuk menggantikan.

Nah, itu yang membuat tunggal putri Indonesia kayak kehilangan satu figur yang penting dan kehilangan rekan sparring.

Bandingkan misalnya di ganda putra. Di sana masih ada Hendra (Setiawan) dan (Mohammad) Ahsan. Lalu masih ada Kevin (Sukamuljo) dan (Marcus Fernaldi) Gideon. Jadi regenerasi ini bisa terus terisi dan berlanjut. Jadi, fungsinya pemain senior adalah menarik prestasi juniornya.

Contoh lain di mixed double. Begitu Butet (Liliyana Natsir) nggak ada, nah agak sedikit keteteran nih. Kita berharap di Praveen (Jordan). Tetapi ternyata Praveen kurang bisa diandelin. Nah, akhirnya putus di Praveen. Begitu kosong, maka akan susah sekali untuk bangkit.

Nah, untuk menyusul ketertinggalan itu bagaimana?

Ya, kita harus bekerja dengan ekstra. Sebetulnya, setelah saya, memang muncul satu-satu nama ya. Ada Mia, lalu ada Lidya, ada Ellen, ada Maria Kristin, ada Firda (Adriyanti Firdasari), ada Bellaetrix (Manuputty). Dari Bellaetrix, terus sekarang Jorji kan?

Tapi kan prestasinya biasa-biasa semuanya…

Iya, memang belum sampai ke atas ya. Ya memang biasa-biasa aja. Tetapi pemain putri yang muncul pun tidak sebanyak putra. Cuma muncul satu, satu, satu. Memang seperti itu. Mudah-mudahan lah, dengan sekarang ini bulu tangkis sudah mulai banyak diminati oleh wanita-wanita, akan memperbanyak lagi bibit-bibit.

Dan pastinya, kalau semakin banyak bibit, maka persaingan akan lebih ketat. Dan jika kita melihat sekarang ini, dengan adanya banyak penghargaan, akan juga memacu para orang tua untuk mendukung anak-anaknya. Mereka akan memberikan pengertian kepada anaknya bahwa bulu tangkis itu bukan hanya sebagai hobi, tapi sudah menjadi profesi.

Sekarang kalau berbicara soal inspirasi, panutan Ci Susy dulu siapa?

Panutan saya dulu sih, Pak Rudy Hartono, Ibu Ivana (Lie), Kak Vera (mendiang Verawaty Fajrin). Karena dulu pas waktu saya kecil, ya beliau-beliau itulah yang menjadi juara. Waktu di pelatnas, saya sempat main sama Kak Vera. Kami berpartner sebagai ganda.

Ci Susy masih sempat bermain dengan sosok panutan seperti Verawaty Fajrin. Jangan-jangan sekarang ini Gregoria kehilangan figur panutan seperti itu?

Hmmm… bisa jadi. Mungkin saja dia merasa sendirian. Tetapi jangan sampai tanggung jawab itu berubah menjadi beban. Kadang-kadang dia itu memang membenani diri sendiri. Padahal seharusnya lepas aja.

Justru tanggung jawab itu jadikan seperti ‘Wah saya dipercaya nih’. Otomatis positive thinking itu mengubah mindset. Dari yang negatif menjadi positif kan? Nah itu sangat penting. Jadi, dia nggak tambah stres, nggak tambah tegang di saat bermain.

Overthinking terus kalo begitu….

Nah, iya! Contohnya saat bermain beregu. ‘Waduh saya jadi tunggal pertama nih, saya harus menang nih.’ Saya pernah ngerasain di mana saya harus, harus, harus menang. Aduh bebannya berat banget!

Tetapi kalau kita coba balikin mindsetnya. ‘Wah saya dikasih kepercayaan nih. Kesempatan nggak datang dua kali, saya harus bisa nunjukin nih’. Kan secara beban menjadi beda. Jadinya malah seperti motivasi.

Susy Susanti BWF
Susy Susanti saat berlaga pada Olimpiade 1992 Barcelona. (BWF)

Ci Susy menjadi tunggal pertama Indonesia di Piala Sudirman 1989 saat berusia 18 tahun. Bagaimana seorang remaja berusia 18 tahun mengelola pikiran ketika mendapatkan beban sebesar itu?  

Saya waktu itu masih junior. Jadi saya mikirnya nothing to lose. Kalau saya menang, ya saya memang bagus. Tetapi kalau saya kalah, musuh saya adalah juara All England kok!

Ya sudah main saja dulu. Jadi, saya tidak pernah takut melawan siapapun. Meskipun yang saya hadapi itu ranking satu dunia, juara All England, dan lain sebagainya.

Pertandingan itu belum dimulai dan belum selesai. Jadi semua orang belum tahu kok hasilnya. Bisa menang atau bisa kalah. Jadi saya main saja.

Nah, itu yang selalu saya katakan. Bahwa ketakutan pada diri sendiri itu kadang lebih besar daripada kemampuan mengubah mindset dari negatif menjadi positif. Itu yang mungkin saya pikirkan waktu itu.

Tolong sekali lagi yakinkan saya, bagaimana cara anak berusia 18 tahun melakukan itu semua?

Ha..ha..ha..Mungkin karena saya orangnya cuek. Jadi saya nekad, bagaimana nanti ya urusan nanti. Saya nggak mau memikirkan hasil. Apapun hasilnya nanti, pokoknya saya main dulu. Jadi saya nggak mikir mau menang atau mau kalah. Saya nggak peduli!

Pokoknya, saya main dulu saja. Kalau sekarang sikap seperti itu bisa dianggap sedikit sedikit cuek ya. Mungkin ada yang menganggap saya sedikit badung.

Tetapi kalau di lapangan, ya harus dilakukan. Lakukan saja. Jangan terlalu banyak merasa; ‘Aduh ini gimana ya, aduh itu gimana ya?’ Akhirnya kebanyakan pikiran!

Sikap seperti itu datang dari mana? Atau memang sudah bawaan dari lahir?

Ada bawaan juga. Saya juga dapat nasihat dari orang tua. Intinya sudah main saja. Pokoknya main, pokoknya maksimal aja. Tetapi, kepercayaan diri saya itu juga datang dari latihan.

Karena saat latihan, saya biasanya dikeroyok dua orang, dikeroyok tiga orang. Tetapi saya nggak mati. Ya sudah, ayo ngadu aja!

Lalu secara fisik, saya nggak kalah kok sama pemain cowok. Kadang sama cowok, fisik saya menang. Jadi, ngapain saya takut? Nah dari persiapan saat latihan itu lah yang membuat saya lebih yakin dan lebih percaya diri. Saya juga menjadi lebih berani.

Saya selalu ngomong kepada atlet muda bahwa orang bisa itu karena biasa. Jadi, kalian harus latihan seperti saat pertandingan. Kita kan kalau pertandingan nggak mau kalah. Poin demi poin harus diperjuangkan. Kalau latihan seperti itu, maka di pertandingan akan biasa.

Mengapa seperti itu? Hasil latihan kita mungkin 100 persen, tetapi yang keluar saat pertandingan paling 60 persen. Jadi, latihannya harus 200 persen!

Sehingga, pada saat kamu tegang, kamu masih punya kekuatan 80 persen sampai 90 persen. Syukur-syukur masih bisa 100 persen.

Tetapi kalau latihannya cuma 100 persen, performa kamu di pertandingan akan turun. Karena ada angin, silau, ada wasit yang kadang salah keputusan, ada tegang. Itu akan mempengaruhi performa kita.

Oke, sekarang kita berbicara soal tunggal putri dunia saat ini. Pemain paling komplet menurut Ci Susy sekarang itu siapa?

Paling komplet dan sebetulnya yang paling suka permainannya adalah Tai Tzu-ying dan Ratchanok Intanon. Carolina Marin itu oke. Tetapi dia itu, apa ya, terlalu menggebu-gebu banget.. ha...ha..ha…

Kalau (P.V) Sindhu ya kadang-kadang kurang konsisten ya. Kalau lagi bagus, ya bagus banget. Tapi kalau pas lagi error, ya dia banyak banget errornya. Jadi, menurut saya, Tai Tzu-ying yang paling komplet dan paling stabil secara prestasi.

Akane (Yamaguchi) bagi saya lumayan. Tetapi kalau dia performanya lagi turun, dia akan ngeblank turun ke bawah.

Susy Susanti dan Alan Budikusuma (2)
Susy Susanti dan Alan Budikusuma saat menjadi tim pemandu bakat Audisi Umum PB Djarum 2022. (PB Djarum)

Partisipasi anak-anak Indonesia kepada bulu tangkis kan terus meningkat. Jadi, apa sih yang sebetulnya yang mereka butuhkan untuk menjadi pemain kelas dunia?

Saya melihatnya, satu bakat, kedua mau kerja keras dan pantang menyerah. Lalu juga bisa dibilang adalah teknik. Selain itu dia harus mau capek dan punya sifat pejuang serta petarung di lapangan.

Fighting spirit yang kuat itu penting. Karena jika kita punya fighting spirit dan sifat nggak mau kalah sejak kecil, maka dia akan pede melawan siapapun. Sebelum bola itu turun, dia akan tetap mau mengejar kemana-mana. Dari situlah bisa diukur bahwa dia punya sifat petarung dan pejuang.

Tunggal putri Indonesia saat ini yang paling Ci Susy sukai  itu siapa? Tunggal putri yang mainnya bagus, yang punya fighting spirit tinggi. Meskipun mungkin secara hasil dia masih belum menang ya..

Untuk tunggal putri ya, hmmm….siapa ya?

Kadang-kadang ada yang mungkin modelnya kayak klemar-klemer gitu. Ketika kita bilang ‘Ayo semangat-semangat’,dia bilang ‘Ya saya modelnya gini.’ Kadang-kadang susah kan kita ngomongnya.

Tetapi ada juga yang terlalu berapi-api. Mungkin semangatnya bagus, tapi secara teknik dia masih kurang. Jadi, belum ada yang paket lengkap nih ha..ha..ha..

Semua masih proses lah ya. Mudah-mudahan ke depannya bisa lebih baik. Memang kita butuh kerja keras untuk ke sana. Kalau dibilang bisa, pasti bisa. Kita sama-sama manusia, kita sama-sama makan nasi kok. Saya bisa, mereka juga pasti bisa!

Cuma memang, mereka itu sampai seberapa tinggi pencapaiannya. Karena kan untuk melalui itu semua, sangat tidak mudah. Ada yang di tengah jalan, baru mau nyampe tujuan, sudah mundur dulu. Begitulah. (*)

 

Press ESC to close