Perjalanan panjangnya sebagai prajurit TNI diwarnai kisah suka serta duka. Salah satunya ketika dia bertugas di Aceh. Menjadi saksi betapa mencekamnya bencana tsunami yang menerjang kala itu.
----------------------------------------------------------
Minggu pagi itu, 26 Desember 2004. Pesisir Pantai Lhok Kruet di Kecamatan Sampoinet, Aceh Jaya berubah mencekam. Gempa dahsyat bermagnitudo 9,3 mengguncang. Sejurus kemudian, riak air di pantai menghilang. Tertarik ke tengah lautan. Disusul gelombang besar setinggi 30 meter yang langsung menghantam daratan.
Peristiwa itu selamanya akan dikenang oleh Letkol Inf Aris Setiawan. Perwira yang kini menjadi komandan Kodim 0809/Kediri ini menjadi saksi mata peristiwa yang dikenal sebagai Tsunami Aceh tersebut. Bencana alam paling tragis sepanjang sejarah Indonesia.
Saat itu, Aris-demikian sapaan akrab sang Dandim, bertugas di komando rayon militer (koramil) setempat. Karena itu dia sangat ingat ketika gelombang tsunami menghantam saat itu.
“Di tempat saya termasuk yang terdampak parah. Bahkan kantor koramil sangat dekat dengan pantai. Hanya beberapa ratus meter dari bibir pantai,” ceritanya.
Beruntung, dia dan beberapa warga berhasil menyelamatkan diri. Berlari ke bukit. Namun, dia justru dihadapkan realita yang mengerikan. Menyaksikan detik-detik gelombang tsunami menyapu daratan dan seisinya. Tanpa bisa berbuat apa-apa pada saat itu.
“Jadi dulu saya melihat prosesnya tsunami terjadi dari atas, dari bukit. Mulai air surut, sampai naik dan menghantam semua bangunan,” ujarnya mengenang lagi kejadian mengerikan itu.
Tak cukup gempa berkekuatan 9,3 magnitudo itu meluluhlantakkan semua bangunan dan isinya. Tapi juga gelombang tsunami turut meratakan seluruh bangunan dan menghanyutkan banyak orang. Korbannya saat itu mencapai 230 ribu jiwa, berdasarkan data dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dengan sisa asa, dia yang saat itu memegang komando koramil, berusaha bertahan. Bersama anggota dan warga, mendirikan tenda pengungsian.
“Bahkan (atap) kantor koramil saya dari terpal biru. Yang saya bangun bersama anggota dari kayu-kayu bekas tsunami. Setahun saya tinggal di tenda,” sambungnya.
Situasi sulit dan kalut itu di sisi lain mengajarinya banyak hal bermakna. Karena keadaan, ia ditempa menjadi sosok pemimpin dengan tanggung jawab yang besar. Salah satunya, mengakomodasi bantuan kemanusiaan yang terus mengalir untuk korban tsunami.
“Waktu itu pak camat dan kapolsek kondisinya sempat terbawa air dan luka-luka. Akhirnya kepemimpinan di situ tinggal saya. Mereka baru seminggu bisa gabung tapi kondisinya terluka. Akhirnya kepemimpinan di kecamatan saat itu saya yang memimpin,” kenangnya lagi.
Bantuan yang terus mengalir—baik dari dalam maupun luar negeri—sebisa mungkin harus tersalurkan dengan merata. Situasi itupun juga lagi-lagi mengajarinya makna hidup yang akan selamanya ia kenang.
“Di tenda pengungsian, kami bersama masyarakat dan relawan dari dalam sampai luar negeri bekerja bersama. Masak dan makan juga sama-sama,” lanjutnya.
Lewat peristiwa itu pula, ia bertemu dengan orang-orang yang hingga kini tetap intens menjalin komunikasi. Bahkan, bertemu dengan orang yang kemudian sudah seperti orang tua angkat baginya. Yang selalu menyambutnya dengan senyum merekah bagaikan putra sendiri di setiap waktu mempertemukan mereka.
“Panggilan saya itu danramil tsunami, di sana. Makanya sampai sekarang saya masih komunikasi dengan masyarakat yang dulu bersama-sama dengan saya waktu tsunami. Termasuk anggota-anggota juga,” tandasnya. (fud)